“Di sana terbaring raksasa yang sedang tidur. Biarkan dia tidur! Karena saat dia bangun, dia akan mengguncang dunia.”
– Napoleon Bonaparte

Pernyataan legendaris Napoleon ini kini bukan lagi sekadar peringatan historis, melainkan kenyataan geopolitik kontemporer. Transformasi China dari negara agraris yang tertutup menjadi kekuatan ekonomi dunia merupakan fenomena multidimensional yang berakar pada sejarah panjang, reformasi kebijakan, serta dinamika globalisasi. Kajian ini merefleksikan evolusi tersebut melalui lensa sejarah perdagangan (Jalur Sutra), reformasi ekonomi pasca-Mao, kebijakan Belt and Road Initiative (BRI), serta kerangka teori pembangunan seperti model Rostow, dengan penekanan pada data ekonomi makro dan dinamika perdagangan internasional terkini.

Jalur Sutra: Dari Sejarah Perdagangan Menuju Strategi Global BRI

Sejak abad ke-2 SM, Jalur Sutra (Silk Road) telah menjadi tulang punggung perdagangan Eurasia. Studi arkeologis dan sejarah ekonomi menunjukkan bahwa jalur darat dari Xi’an hingga Istanbul dan jalur maritim dari Quanzhou ke Afrika Timur memungkinkan penyebaran komoditas, teknologi, dan ideologi lintas benua. Dalam konteks ini, China telah lama memiliki peran aktif dalam sistem perdagangan dunia.

Revitalisasi semangat Jalur Sutra diwujudkan melalui BRI yang diluncurkan Presiden Xi Jinping pada 2013. Hingga 2023, BRI telah mencakup lebih dari 140 negara dengan nilai investasi kumulatif melebihi $1 triliun (World Bank, 2023). Proyek strategis seperti Pelabuhan Gwadar (Pakistan), rel kereta cepat Jakarta–Bandung (Indonesia), dan Koridor Ekonomi China–Eropa menunjukkan integrasi antara infrastruktur dan diplomasi ekonomi. Meski menghadapi kritik atas “debt-trap diplomacy”, riset oleh Hurley et al. (2018, CGD) menegaskan bahwa tidak semua proyek BRI menyebabkan ketergantungan fiskal.

Transformasi Politik-Ekonomi: Dari Mao ke Kapitalisme Negara

Pasca-era Mao Zedong yang ditandai oleh kebijakan ekstrem seperti Great Leap Forward dan Revolusi Kebudayaan, reformasi yang diinisiasi Deng Xiaoping tahun 1978 menandai titik balik strategis. Deng memperkenalkan “Reform and Opening Up” dengan pembentukan Special Economic Zones (SEZ) seperti di Shenzhen, yang tumbuh dari desa nelayan menjadi pusat manufaktur global dengan GDP mencapai ¥3,46 triliun (Bureau of Statistics Shenzhen, 2023).

Data dari World Bank (2023) menunjukkan bahwa GDP per kapita China meningkat dari $156 (1978) menjadi $12.500 (2023), dengan kontribusi sektor industri dan ekspor mencapai 45% dari PDB nasional. FDI melonjak signifikan dari hampir nol menjadi $180 miliar pada 2022 (UNCTAD, 2023), memperkuat struktur ekonomi yang kini dikenal sebagai state capitalism dengan kendali politik sentralistik namun liberalisasi ekonomi terbatas.

Teori Rostow dan Penerapannya pada Kasus China

Dalam kerangka teori pertumbuhan ekonomi Rostow (1960), China mengalami fase take-off pasca 1980-an dengan pertumbuhan GDP tahunan rata-rata >10% selama dua dekade. Saat ini, dengan dominasi sektor jasa, konsumsi domestik, dan teknologi tinggi, China memasuki tahap drive to maturity. Data dari IMF (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 400 juta penduduk China telah masuk kelas menengah, menjadikannya pasar konsumen terbesar kedua di dunia.

Namun, model pertumbuhan ini tidak linier sebagaimana diasumsikan teori klasik. Otoritarianisme politik yang terus berlanjut menunjukkan adanya developmental state dengan pengecualian terhadap korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan liberalisasi politik.

Respons Terhadap Perang Dagang dan Diversifikasi Global

Sejak dimulainya perang dagang dengan AS tahun 2018, China menunjukkan ketahanan struktural yang mengesankan. Meski tarif impor AS terhadap produk China naik rata-rata 20–25%, nilai ekspor China secara keseluruhan tetap stabil di atas $3,5 triliun (Statista, 2023). Diversifikasi ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa, masing-masing menyerap sekitar 25% dari total ekspor, memperkuat jaringan perdagangan multilateral China.

Cadangan devisa China yang mencapai $3,1 triliun pada 2023 (People’s Bank of China) memberi ruang bagi stabilisasi nilai tukar Yuan melalui intervensi pasar dan kontrol modal. Inovasi seperti peluncuran Digital Yuan atau e-CNY, yang telah diuji coba di lebih dari 26 kota besar, memperlihatkan langkah maju China dalam mengintegrasikan teknologi keuangan dan mengurangi ketergantungan terhadap sistem dolar (SWIFT, 2024).

Tantangan Struktural dan Strategi Dual Circulation

Terlepas dari capaian tersebut, tantangan domestik tetap signifikan. Koefisien Gini China yang mencapai 0,47 (UNDP, 2023) mengindikasikan ketimpangan tinggi antara perkotaan dan pedesaan. Penurunan populasi dengan proyeksi -0,5 juta jiwa (NBS China, 2023) menimbulkan risiko demografis yang dapat menekan pasar tenaga kerja.

Menanggapi dinamika tersebut, China mengusung strategi dual circulation, yang menekankan sinergi antara pasar domestik (internal circulation) dan ekspansi global (external circulation). Ini mencerminkan upaya mengurangi ketergantungan terhadap ekspor dan FDI, serta meningkatkan daya tahan melalui inovasi dan konsumsi dalam negeri.

Refleksi Geopolitik dan Implikasi Global

Dengan pendekatan kontrol moneter, regulasi digital, dan penguatan budaya nasional, China membangun “Tembok Besar Modern” sebagai sistem pertahanan non-militer. Kontrol atas aliran informasi dan data digital melalui Great Firewall serta sistem social credit score memperlihatkan bagaimana negara mempertahankan stabilitas di tengah tekanan eksternal.

Di sisi lain, dominasi China dalam sektor teknologi dan manufaktur kritikal seperti semikonduktor, baterai EV, dan logam tanah jarang menempatkan negara ini sebagai pemain strategis dalam transisi ekonomi global. Persaingan China–AS tidak lagi semata-mata terkait tarif, tetapi mencakup kepemimpinan dalam ekonomi digital, AI, dan mata uang digital.

Penutup

Kebangkitan China adalah refleksi konkret dari bagaimana negara dapat membentuk arah pembangunan dengan strategi jangka panjang, sinergi kebijakan, dan inovasi struktural. Model pertumbuhan China yang menggabungkan pasar dan kendali negara menantang paradigma pembangunan liberal yang dominan. Dalam konteks ekonomi Islam dan pembangunan berkelanjutan, studi terhadap kasus China memberikan pelajaran penting tentang kemandirian, pengelolaan risiko, dan pentingnya arah strategis negara.

Kisah ini bukan hanya tentang pertumbuhan angka, tetapi tentang perubahan lanskap global. Dunia kini menyaksikan bukan hanya bangkitnya kekuatan ekonomi baru, tetapi juga tatanan global yang semakin multipolar. Dalam kondisi ini, kemampuan untuk menavigasi geopolitik, mempertahankan kedaulatan ekonomi, dan mengelola ketimpangan menjadi elemen krusial bagi setiap negara yang ingin berdaulat secara ekonomi.